Meretas Ancaman Demokrasi: Strategi Melawan Korupsi dan Intoleransi di Indonesia

Sekedar mengulang ingatan, sejarah demokrasi di Indonesia dalam pengertian yang paripurna sesungguhnya tidak dimulai sejak Negeri ini berdiri, melainkan jauh setelah masa itu. Hingga dua dekade pertama (1945-1965) sejak kemerdekaan Indonesia diproklamirkan saja, sistem ketatanegaraan seolah “tak kunjung usai mencari bentuk.”

Pemilu untuk pertamakalinya diselenggarakan pada tahun 1955, hingga tahun 1959 Indonesia masih menggunakan sistem “Demokrasi Parlementer” yang menempatkan legislatif sebagai lembaga tertinggi di atas eksekutif. “Rezim otoriter” di balik label “Demokrasi Terpimpin” kemudian dijalankan Presiden Sukarno pada tahun 1959-1965.

Setelah kudeta tahun 1965, Suharto mengambil alih kekuasaan dan secara resmi dilantik sebagai Presiden oleh MPR pada tahun 1968. Rezim Suharto pada kenyataannya “tak kalah otoriter” dari pendahulunya yang sempat menyandang gelar “Presiden seumur hidup,” sebab Negeri yang disebut-sebut menganut sistem demokrasi ini justeru dikuasai dengan pola yang sama dalam bentuk yang berbeda. Pemilu tetap digelar, meski sekedar pesta demokrasi seremonial karena kendali kekuasaan tetap berada di tangannya.

Reformasi 1998 yang berhasil menggulingkan kekuasaan Suharto mulai membuka lembaran baru bagi sejarah demokrasi di Indonesia. Momentum itu menjadi fondasi awal terlaksananya pemilihan Presiden secara demokratis setelah mengalami masa transisi dari pemerintahan B.J Habibie menggantikan Suharto, ke Presiden Abdurrahman Wahid yang digantikan Megawati, hingga terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui pemilihan langsung pada tahun 2004.

Reformasi nyatanya tidak sekedar membawa “angin segar” bagi penguatan demokrasi, tapi turut menyisakan persoalan baru yang justeru menghambat proses demokratisasi itu sendiri. Dua hambatan paling krusial yang kelihatannya terus saja mendera pasca reformasi hingga saat ini adalah persoalan korupsi dan intoleransi.

Strategi Melawan Korupsi

Menganggap korupsi sebagai satu di antara persoalan yang mendera Indonesia pasca reformasi tidak bertujuan megabaikan kasus-kasus korupsi yang pernah terjadi sebelumnya. Sejarah bahkan pernah mencatat bahwa kasus korupsi sudah menyeret sejumlah tokoh partai politik dan pejabat Pemerintah sejak masa-masa awal Negeri ini berdiri. Namun demikian, patut disayangkan jika gerbong reformasi masih juga menyisakan persoalan korupsi yang semakin akut mengingat momentum itu lahir justeru untuk menuntut pemberantasannya.

Reformasi memang telah “berjasa” mengubah paradigma sentralisasi sehingga sejatinya bisa dijadikan sebagai kekuatan mencegah budaya korupsi di tingkat pusat, sayangnya paradigma deseentralisasi yang diharapkan lahir melalui prinsip otonomi itu hanya menggeser budaya tersebut ke daerah, bukan justeru memudahkan kontrol sosial untuk pencegahannya. Betapa tidak, tuntutan pemberantasan korupsi sebagai respon terhadap rezim Orde Baru yang digaungkan lewat Reformasi tidak membuat budaya itu berkurang, eskalasinya bahkan cenderung meningkat sepanjang tahun.

Setidaknya, tercatat 2.985 kasus tindak pidana korupsi yang telah ditangani KPK sejak 2004 hingga bulan September 2017. Penanganan tersebut terdiri dari 918 kasus penyelidikan; 645 kasus penyidikan; 523 kasus penuntutan; dan 436 kasus inkracht. Angka yang cukup fantastis bagi sebuah negara yang tengah belajar berdemokrasi, belum lagi diperhitungkan dari kasus-kasus yang tidak ditangani oleh KPK.

Kondisi di atas jelas akan menjadi bahaya laten bagi proses demokratisasi di Indonesia mengingat korupsi adalah antitesa demokrasi itu sendiri. Betapapun tidak ada jaminan bahwa negara demokrasi benar-benar bebas dari korupsi, secara teoretik budaya tersebut hanya tumbuh subur pada sistem kekuasaan yang besifat totaliter. Artinya, jika eskalasi korupsi terus meningkat seiring dengan semangat demokrasi, maka demokrasi itu sendiri sebenarnya sudah dianggap “gagal.”

Karenanya, komitmen pemberantasan korupsi menjadi penting bagi Indonesia yang bercita-cita hidup di alam demokrasi. Komitmen itu sendiri hanya efektif diwujudkan dengan memperbaiki sistem mengingat Negara tidak mungkin “memelas” untuk membuat orang menjadi baik. Tanpa maksud mengabaikan pembentukan mental dan kesadaran, sistemlah yang sejatinya lebih mungkin “memaksa” orang untuk menjadi baik. Mengutip Karl Marx, “Bukan kesadaran yang membentuk keadaan manusia, tapi keadaanlah yang membentuk kesadaran mereka.”

Berbicara mengenai sistem, penting untuk melihat definisi korupsi Robert Klitgaard yang terpakai secara umum dalam rumus: C=D+M-A (Coruption is Discretion plus Monopoly minus Accountability). Jika rumus ini dapat diterima, maka strategi pemberantasan korupsi sebenarnya cukup mudah karena hanya perlu menciptakan sistem dengan rumus sebaliknya.

Sebut saja lawan korupsi adalah pemerintahan yang bersih (clean governance), maka “kontra rumus” yang bisa dijadikan acuan untuk membenahi sistem: CG=D-M+A (Clean Governance is Discretion minus Monopoly plus Accountability), atau cukup dengan D+A saja. Simpelnya, untuk mencegah terjadinya korupsi, setiap unsur penyelenggaraan Negara harus berkomitmen menerapkan sistem yang akuntabel mengingat diskresi (tanpa monopoli) merupakan bagian tak terpisah dari tugas dan fungsi seorang pejabat Negara.

Persoalan yang kemudian muncul adalah tolak ukur akuntabilitas itu sendiri mengingat ianya kerap dipahami dalam pengertian dan indikator pengukuran yang berbeda-beda. Dalam satu penelitian yang diterbitkan jurnal BPK bahkan menyebutkan akuntabilitas oleh instansi Pemerintah dipahami sebatas pertanggunjawaban penggunaan anggaran saja, lepas dari bagaimana manfaatnya terhadap kesejahteraan masyarakat.

Jika akuntabilitas secara gamblang bisa dimaknai sebagai “pertanggung-jawaban,” maka sistem yang akuntabel semestinya memuat unsur “transparansi” guna memudahkan kontrol terhadap siapa pertanggungjawaban itu disampaikan. Betapapun teknologi berbasis internet sudah cukup memadai untuk menerapkan sistem tersebut, pada kenyataannya sistem itu baru diterapkan oleh instansi dan segelintir pejabat.

Dalam kondisi inilah perlu dilahirkan seperangkat aturan yang mengikat untuk membuat sistem yang menjamin transparansi itu menjadi wajib diterapkan oleh seluruh komponen penyelenggara Negara, baik eksekutif; legislatif; maupun yudikatif. Ketika ditemukan adanya instansi yang tidak menerapkan sistem itu, maka komitmennya terhadap pemberantasan korupsi patut dipertanyakan; lebih jauh lagi, orang-orang yang bertanggung jawab di dalamnya harus ditindak secara hukum.

Penegakam Hukum Memerangi Intoleransi

Selain korupsi, intoleransi juga merupakan persoalan lain yang dihadapi Indonesia pasca reformasi. Memang, terkesan dilematis ketika intoleransi tersebut harus dihubung-hubungkan dengan momentum itu, betapapun berbagai fakta telah membuktikannya. Sidney Jones bahkan menganggap kemunculan kelompok masyarakat madani intoleran sebagai “sisi gelap” reformasi itu sendiri.

Munculnya kelompok-kelompok intoleran pasca reformasi memang bisa dimaklumi sebagai ekses dari proses demokratisasi. Seperti disebutkan Snyder, konflik kekerasan merupakan risiko dari fase awal pemerintahan menuju transisi demokrasi; sedangkan Bertrand menganggap kondisi itu sebagai “titik kritis” di Indonesia mengingat perubahan dari rezim otoriter ke sistem demokrasi selalu rentan terhadap berbagai gejolak.

Meski demikian, keadaan itu bukan berarti harus diamini begitu saja dengan melakukan “pembiaran.” Jika korupsi—seperti telah disinggung pada deskripsi terdahulu—bisa dianggap sebagai antitesa demokrasi, intoleransi adalah “benalu” di dalamnya. Intoleransi merupakan ancaman demokrasi yang tak kalah berbahaya dari korupsi itu sendiri.

Tampaknya telah terjadi kekeliruan dalam memaknai demokrasi di hampir sebagian besar masyarakat. Berpijak dari paradigma kebebasan sebagai hak asasi yang mutlak dilindungi, alam demokrasi sering dianggap menjadi lahan subur bagi tumbuhnya kelompok-kelompok intoleran; sebab ketika kelompok-kelompok itu “diberangus” sama artinya dengan mengekang kebebasan yang dijamin sebagai hak asasi sehingga dinilai menciderai prinsip-prinsip demokrasi.

Padahal, kebebasan di alam demokrasi sekalipun bukan berarti tanpa batas, sebab kebebasan tersebut secara otomatis dibatasi oleh kebebasan yang lain. Pada posisi inilah penegakan hukum menjadi penting untuk menjamin kebebasan-kebebasan tersebut agar tidak berbenturan satu sama lain. Lagipula, dengan menggunakan “logika yang sehat” patut untuk dipertanyakan: mungkinkah tujuan demokrasi tercapai jika pada saat yang sama kelompok-kelompok intoleran yang “membajak demokrasi” dibiarkan hidup di dalamnya?.

Maraknya kasus-kasus intoleransi di Indonesia sesungguhnya merupakan akibat dari “lemahnya” penegakan hukum. Dalam beberapa pengalaman, Negara bahkan seringkali “kalah” dengan tekanan-tekanan yang berisfat masif sehingga hukum “terpinggirkan” demi menempuh solusi yang persuasif. Kondisi itu pada gilirannya membuat wajah hukum menjadi bias; esensinya tidak lagi “melindungi manusia sebagai manusia,” tapi manusia sebagai kelompok, agama, ras, dsb.

Pernyataan terakhir penting ditegaskan untuk meluruskan logika hukum di Indonesia. Paradigma hukum yang “melindungi manusia sebagai manusia” dapat diartikan sebagai perlakuan yang sama di hadapan hukum, tanpa memandang kelompok, agama, ras, dsb. Hanya dengan model penegakan hukum seperti itulah intoleransi bisa dibendung; sebab kelompok mayoritas tidak dapat bertindak totaliterisme hanya karena mereka merasa dominan; demikian pula sebaliknya, kelompok minoritas tidak diperlakukan istimewa sehingga membuat mereka bersikap sewenang-wenang.

Terbitnya Perppu Ormas yang telah disahkan menjadi undang-undang beberapa waktu yang lalu sebenarnya merupakan langkah maju dalam penegakan hukum untuk memerangi intoleransi di Indonesia. Lepas dari bagaimana Perppu tersebut bergulir dalam wacana publik, saya melihat kehadirannya justeru lebih ditekankan pada upaya penegakan hukum terhadap kelompok-kelompok intoleran dibanding warning bagi Ormas Anti Pancasila.

Perppu Ormas merupakan revisi terhadap UU No. 17 Tahun 2013 yang menggantikan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Tidak ditemukan ketentuan baru mengenai Pancasila sebagai asas organisasi jika dilakukan perbandingan terhadap ketiga undang-undang tersebut. Perbedaan yang paling mencolok di antara Perppu Ormas dan UU No. 17 Tahun 2013 adalah penghapusan sejumlah pasal yang mengakibatkan hilangnya “proses peradilan” sebagai mekanisme pembubaran Ormas.

Pada UU No. 8 Tahun 1985 pun sebenarnya pembubaran Ormas dapat dilakukan sepihak oleh Pemerintah tanpa menempuh proses peradilan. UU No. 17 Tahun 2013 kemudian mengubah mekanisme itu yang membuat Pemerintah harus lebih dulu menggugat Ormas ke Pengadilan untuk membubarkannya. Mekanisme itu dianggap bertentagan dengan prinsip contrarius actus sehingga hadirlah Perppu Ormas untuk mengembalikan kewenangan Negara.

Tanpa berpijak pada prinsip contrarius actus sekalipun sesungguhnya sulit diterima nalar jika Pemerintah harus mengguggat Ormas untuk membubarkannya. Analogi yang paling sederhana, ketika Ormas tertentu melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud undang-undang (termasuk intoleransi), maka Pemerintah tidak memiliki kewenangan untuk membubarkannya sampai diperoleh keputusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; pada saat yang sama pelanggaran yang dilakukan Ormas tersebut bolehjadi merugikan pihak yang lain.

“Keputusan sepihak” yang diambil Pemerintah terhadap Ormas pada gilirannya menjadi penting untuk melindungi pihak-pihak lain yang dirugikan. Menganggap mekanisme semacam ini bertentangan dengam demokrasi jelas merupakan pemahaman yang keliru, sebab Ormas tidak kehilangan haknya untuk menggugat keputusan Pemerintah lewat pengadilan. Tapi, harus diingat bahwa pada level yang paling tinggi, hukum akan bersifat “oportunitis” untuk mencari keputusan yang paling adil.

Penutup

Demikian sekelumit pemikiran yang dapat saya tuangkan tentang korupsi dan intoleransi sebagai ancaman demokrasi di Indonesia. Tulisan ini sendiri bisa dianggap sebagai abstraksi dari visi yang ingin saya rumuskan bagi masa depan Indonesia yang lebih baik. Dengan mengajukan diri sebagai calon legislator melalui Partai Solidaritas Indonesia (PSI), saya ingin membangun komitmen: ketika diberikan kepercayaan baik oleh masyarakat maupun partai pengusung, sejauh hak dan kewenangan yang melakat pada tugas seorang legislator yang dibenarkan menurut undang-undang, saya akan berjuang mewujudkan visi tersebut dengan memegang teguh intgritas; prinsip keterbukaan; demokratis; dan penuh komitmen; untuk dipertanggungjawabkan kepada konstituen yang saya wakili kelak.


Tulisan ini diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti seleksi Bakal Calon Legislatif Partai Solidaritas Indonesia (PSI)

Tinggalkan komentar