Menjelajah Alam Global: Sumbangan Reflektif untuk Pembenahan HIMMAH

Unduh versi cetak

Tulisan ini dibuat sebagai bahan mengisi kegiatan In-House Training dengan tema: “Harmonisasi Arah dan Sistem Pengkaderan HIMMAH Merespon Tantangan Global,” diselenggarakan oleh PW HIMMAH Sumatera Utara pada tanggal 26-28 April 2017 di RAZ Hotel Medan. Membaca dasar pemikiran yang dituangkan penyelenggara melalui TOR kegiatan, dapat dimaklumi bahwa kegiatan ini lahir sebagai wujud “kekhawatiran.”

Pertanyaannya: “Apa yang perlu dikhawatirkan?.” Mengacu pada tema kegiatan yang diusung penyelenggara, tentu saja “tantangan global” yang menjadi kekhawatiran. “Tantangan” sendiri sarat dengan makna “perlawanan”; sehingga jika ia harus dikhawatirkan, kondisi itu sejatinya menunjukkan “ketidaksiapan.”

Kontra-asumsinya adalah, jika hal yang dianggap “tantangan” itu dihadapi dengan penuh “kesiapan,” ia justeru akan bernilai sebagai “peluang.” Karenanya, mengawali materi yang disuguhkan melalui tulisan singkat ini, saya ingin mengajak peserta untuk memulai budaya berpikir positif (positive thinking), dengan menjadikan tantangan sebagai peluang. Artinya, sembari memenuhi segala kesiapan, apa yang sejauh ini terlanjur dianggap sebagai “tantangan global” harus diterjemahkan sebagai “peluang.”

Menjelajah Globalisasi

Ada semacam kecenderungan bahwa diskursus globalisasi seringkali dimunculkan tanpa diimbangi dengan pengetahuan yang mapan tentangnya. Istilah “membendung arus globalisasi” yang kerap ditemukan dalam berbagai wacana publik misalnya, menjadi bukti kongkrit betapa fenomena global mulai dianggap sebagai “ancaman.”

Sebenarnya tidak begitu jelas apa yang dimaksud ancaman; apa pula objek yang terancam. Sejauh yang bisa dilihat, pergeseran sikap dan nilai-nilai kehidupan lazim diidentifikasi sebagai “dampak negatif” globalisasi; dampak itulah yang kemudian dianggap sebagai ancaman. Ada juga yang menganggap kerusakan alam—semisal pencemaran lingkungan dan pemanasan global—sebagai dampak yang ditelurkan globalisasi; tapi, menurut hemat saya anggapan itu keliru (asumsi ini bisa didiskusikan lebih jauh di dalam forum, mengingat tulisan ini sangat terbatas untuk menjelaskannya).

Jika dampak negatif globalisasi dicukupkan hanya pada aspek sikap dan nilai-nilai kehidupan saja, maka dapat dipastikan objek yang terancam adalah tradisi dan budaya. Dulu misalnya, “solidaritas” dianggap sebagai sikap dan wataknya orang Indonesia yang melahirkan budaya gotong-royong; belakangan globalisasi dituding sebagai penyebab terkikisnya tradisi itu, lantas melahirkan sikap-sikap individualis dengan budaya materialistis.

Betapapun perubahan-perubahan itu nyata terjadi, kurang adil kiranya mendakwa globalisasi sebagai yang paling bertanggungjawab atas perubahan-perubahan itu. Hal ini penting ditekankan untuk menghindari bias penerimaan globalisasi sebagai fakta sejarah; di satu sisi produk peradabannya dimanfaatkan, tapi di sisi yang lain eksesnya dihardik sebagai penyebab “kerusakan moral.” Lagi-lagi, apa yang dimaksud dengan “kerusakan moral” itu juga masih sangat bias.

Memang, ada sikap dan nilai yang bergeser lalu membentuk “budaya baru,” pergeseran-pergesaran itulah yang sesungguhnya dianggap sebagai “kerusakan” hanya karena ia berubah dari keadaan semula. Tidak banyak yang bisa memaklumi pergeseran itu sebagai sikap yang dibentuk oleh kesadaran akibat kebutuhan-kebutuhan baru; sebagaimana pernyataan Karl Marx: “It is not the consciousness of man that determines their being, but, on the contrary, their social being that determines consciousness” (Bukan kesadaran yang membentuk keadaan manusia, tapi keadaanlah yang membentuk kesadaran mereka).

Mungkin saya perlu mengabstraksikan narasi di atas dengan ilustrasi yang lebih mudah dipahami. Dulu, manusia berusaha untuk memenuhi kebutuhannya sendiri; berburu ketika lapar; mendirikan tempat berlindung; atau membuat pakaian dari bahan-bahan yang bisa ditemukan. Dalam tahap ini sesungguhnya manusia sudah menampakkan watak individualistik, menggugurkan asumsi bahwa globalisasilah yang telah membentuk sikap itu.

Kebutuhan-kebutuhan yang bisa dipenuhi diri sendiri pada kenyataanya sangat terbatas, membuat manusia harus saling berhubungan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang lain. Dari sanalah muncul sistem “barter” (pertukaran barang dengan barang); betapapun sistem ini sangat menyulitkan karena harus menemukan orang yang bisa saling menukar kebutuhan satu sama lain. Sadar akan kesulitan itu, manusia kemudian menggantinya dengan barang-barang berharga yang disepakati sebagai “nilai tukar umum,” seperti: emas; perak; dsb.

Tahapan di atas menjadi dasar lahirnya ide tentang uang sebagai nilai tukar. Menjadikan barang-barang berharga yang disepakati sebagai nilai tukar juga sangat menyulitkan karena transaksi-transaksi yang bernilai besar kurang efektif dilakukan dengan cara itu. Uang kemudian hadir sebagai nilai tukar; semacam “bukti kepemilikan logam mulia” karena memang setiap nilainya dijamin dengan emas ataupun perak yang disimpan pada tempat tertentu.

Tapi, emas dan perak adalah sumber daya alam yang sangat terbatas; sulit untuk dijadikan sebagai jaminan mengingat pertumbuhan umat manusia yang terus meningkat. Dalam keadaan demikian, lantas apa yang dijadikan sebagai jaminan untuk mencetak uang?; seorang mahasiswa ekonomi yang gagal paham berceloteh kepada saya: “Kalau Negara banyak utang, mengapa tidak dicetak saja uang banyak-banyak untuk membayarnya?”

Saya ingin melanjutkan ilustrasi dengan berangkat dari logika mahasiswa di atas. Mahasiswa itu melakukan protes kepada teller bank karena baru saja dia membuka tabungan dengan simpanan lima ratus ribu, tapi di buku tabungan angka itu justeru tertera di kolom kredit, bukan di kolom debit; sebagai mahasiswa ekonomi, dia tahu persis bahwa “kredit” itu berarti berkurang ataupun “berutang.” Pemahaman mahasiswa itu tentang debit dan kredit benar; tapi, lagi-lagi dia gagal paham.

Sesungguhnya, angka kredit yang tertera pada buku tabungan menjelaskan bahwa bank telah “berutang” kepada nasabah (nasabah sebagai kreditor); lebih spesifik lagi, Negara “berutang” kepada rakyat. Mengapa demikian?; karena pada tahap ini, rakyatlah yang menjadi “jaminan” pencetakan uang oleh Negara dengan indikator penjualan barang dan jasa (Gross Domestic Product). Deksripsi ini sekaligus menjelaskan, bahwa dalam setiap nilai uang yang dicetak oleh Negara, setiap itu pula Negara “berutang” kepada rakyat. Karenanya, mencetak uang untuk membayar utang, sama artinya dengan “berutang untuk membayar utang.”

Ilustrasi di atas saya harapkan dapat membantu memahami apa yang dimaksud Karl Marx dengan “keadaan yang membentuk kesadaran.” Prilaku ekonomi umat manusia pada kenyataannya terus mengalami evolusi, dari keadaan tertentu lalu membentuk kesadaran tertentu pula. Demikian seterusnya, kebutuhan-kebutuhan baru akan berlaku sebagai “keadaan baru” yang secara otomatis membentuk prilaku dan kesadaran baru. Adakah ilustrasi tersebut memperlihatkan wujud globalisasi?; mari melihat penjelasan saya berikutnya

Menurut hemat saya, kebanyakan orang “gagal” memahami globalisasi karena tidak disertai dengan pemahaman tentang basis filosfisnya. Seringkali saya melihat globalisasi dikaitkan dengan peradaban modern; terutama ketika teknologi informasi mulai menemukan peralatan-peralatan yang dapat mengintegrasikan manusia dengan mudah. Dalam keadaan itu, banyak prilaku dan nilai-nilai kehidupan yang bergeser; jauh maupun dekat tidak lagi menyangkut jarak; hubungan sosial bukan lagi masalah batasan ruang dan waktu; kapan dan di mana bisa bertemu.

Globalisasi semestinya berpijak pada asumsi bahwa manusia harus saling terintegrasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Karenanya globalisasi menyaratkan “dunia tanpa batas” (borderless world); mengingat manusia hidup di satu bumi dan langit yang sama; menghirup udara yang sama. Betapapun harus diisi dengan kebutuhan hidup dan “pandangan dunia” yang berbeda; dalam keadaan paripurna globalisasi semestinya melahirkan kesadaran baru umat manusia, bahwa mereka adalah bagian dari masyarakat dunia, tanpa mengotak-kotakannya berdasarkan perbedaan apapun.

Dalam hal teknologi, bolehjadi manusia sudah sampai pada tahap itu. Tapi, penting diingat bahwa globalisasi tidak sekedar menyangkut teknologi; dalam makna yang lebih luas ia merupakan “pandangan dunia” yang muncul akibat pertukaran gagasan, peradaban, produk pemikiran dan kebudayaan. Teknologi bahkan lebih tepat ditempatkan sebagai produk yang lahir akibat kesadaran global untuk mendukung percepatan integrasi tersebut.

Kembali pada prilaku ekonomi yang terus mengalami evolusi sebagaimana ilustrasi sebelumnya; teknologi berhasil meretas “perbedaan mata uang” karena kebutuhan manusia sudah saling terintegrasi satu sama lain. Berbagai faktor memang mengakibatkan nilai tukarnya (kurs) menjadi berbeda, tapi itu bukan persoalan mendasar karena harga rokok bersebelahan toko pun bisa berbeda.

Hal yang ingin saya tegaskan adalah, teknologi membuat integrasi semakin mudah. Dulu misalnya, orang perlu membeli dollar untuk pergi ke Amerika karena mata uang itu yang diakui di sana. Hari ini, dengan dukungan teknologi, saya cukup “membawa rupiah” yang saya tabung di bank lokal yang terintegrasi secara internasional tanpa perlu membeli dollar. Dengan kartu ATM yang diterbitkan bank tersebut, rupiah yang saya simpan secara otomatis akan berubah menjadi dollar dengan penyesuaian kurs ketika saya harus mengambil uang di sana.

Mahasiswa ekonomi tadi terperangah mendengar penjelasan saya. Kesadarannya mulai terbuka; akal sehatnya pun berjalan untuk mempertanyakan: “Lantas, untuk apa lagi logam dan kertas dijadikan sebagai simbol uang jika hal seperti itu bisa dilakukan?” Mahasiswa itu benar, saya ingin melanjutkan penjelasan agar rekan diskusi saya itu tidak semakin bingung.

Ketika saya meminjam uang kepada seorang teman untuk membayar kredit rumah misalnya; dia memberikannya dengan cara transfer ke rekening saya melalui fasilitas sms banking. Setelah uang yang saya pinjam masuk ke rekening, saya meneransferkan kembali uang tersebut ke rekening tujuan di mana saya harus membayar kredit rumah. Dalam situasi seperti itu, sejatinya saya “tidak menerima uang,” demikian pula kreditor rumah saya; yang terbentuk hanya “kepercayaan” (trust).

Terdapat fenomena bahwa semakin global dunia, prilaku manusia justeru semakin “abstrak.” Uang tidak lagi “berwujud” karena peradaban mengantarkan manusia pada kesadaran esensial, bahwa yang terjadi di dalam hubungan sosial sebenarnya hanya persoalan “kebutuhan” dan “kepercayaan.” Contoh yang paling sederhana, saya butuh keamanan dan percaya bahwa Negara bisa menjamin keamanan itu; karena itulah saya membayar pajak.

Pada tahun 1998, Indonesia mengalami capital flight akibat kerusuhan etnis yang menyebabkan negeri ini hampir bangkrut. Secara massif orang-orang menarik simpanannya dari bank untuk dipindahkan ke negara lain karena menganggap kebutuhannya untuk mendapatkan rasa aman mulai tidak terpenuhi; pada saat yang sama kepercayaan pun mulai hilang. Ini adalah fakta kongkrit betapa hubungan sosial akan terganggu ketika kebutuhan dan kepercayaan tidak lagi saling mengisi.

Masih Relevankah Pengkaderan HIMMAH?

Setelah saya mengajak anda menjelajahi “alam globalisasi,” saatnya untuk bertanya: “masih relevankah pengkaderan HIMMAH di alam global dengan fakta-fakta yang saya sebutkan di atas?” Pertanyaan ini sejatinya berlaku sama terhadap organisasis serupa berbasis kader lainnya; tanpa terkecuali HMI, IMM, PMII, KAMMI, dsb.

Kata kunci organisasi sendiri adalah “tujuan yang sama,” tujuan itulah yang akan melahirkan kepercayaan. Organisasi sesungguhnya berdiri dengan landasan “kontrak sosial” individu-individu yang memiliki tujuan sama; tujuan itu adalah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang tidak bisa dicapai sendiri. Ketika individu-individu tadi mulai menganggap kebutuhannya tidak terpenuhi, mereka akan memutus kontrak sosial lalu menarik kepercayaannya; membentuk organisme-organisme baru yang dianggap lebih mapan memenuhi kebutuhan itu.

Menurut hemat saya, fenomena menurunya minat mahasiswa mengikuti organisasi berbasis kader yang secara otomatis menjadi permasalahan besar bagi organisasi seperti HIMMAH, adalah kesadaran akan kebutuhan individualisme. Mereka bolehjadi mulai menyadari kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi sehingga mencari alternatif yang lain untuk menempatkan kepercayaannya. Teknologi jelas memberikan sumbangan besar terhadap fenomena itu, karena di atas kasur sekalipun orang sudah merasa mampu membangun hubungan sosial.

Ironisnya, kegiatan-kegiatan yang bersifat praktis justeru jauh lebih diminati. Sebut saja training-training pengembangan diri yang bernilai mahal sekalipun, orang lebih berminat mengikutinya karena menganggap kebutuhannya bisa terjawab di sana. Berbanding terbalik dengan fenomena itu, organisasi-organisasi berbasis kader justeru hanya mempertahankan doktrin sebagai produknya; membentuk ideologi komunal sebagai “kesadaran palsu” yang pada gilirannya akan terkikis karena muncul kesadaran-kesadaran baru akibat kebuthan-kebutuhan baru.

Hal yang sejauh ini keliru dan kurang disadari adalah anggapan bahwa manusia merupakan makhluk sosial (homo homini socius), organisasi akan selalu dibutuhkan sebagai konsekuensi memenuhi sifat dasar itu. Pada level pemenuhan kebutuhan anggapan ini bisa dibenarkan, tapi yang seringkali dilupakan, individualisme itu sendiri merupakan watak dasar manusia, bahkan evolusinya dimulai dari sifat itu.

Kembali pada evolusi prilaku ekonomi yang pernah saya ilustrasikan pada bagian terdahulu, kesadaran organisasi terbentuk justeru untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan manusia yang tidak bisa dipenuhi oleh diri sendiri. Ketika kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat dipenuhi, tidak aneh jika manusia kembali menjadi individualistik karena memang sejarah evolusinya dimulai dari sana. Tahukah anda mesin ATM?; robot pelayan?; atau pesawat tanpa awak?; semua itu merupakan fakta kongkrit yang melukiskan watak individualistik manusia ketika sudah mampu memenuhi kebutuhan sendiri.

Tidak heran jika Naisbitt menulis Global Paradox dengan ungkapan: “The bigger the world economy, the more powerful its smallest players” (semakin besar perekonomian dunia, semakin kuat pemain terkecilnya). Naisbitt mungkin lebih fokus pada persoalan ekonomi; tapi, jika saya boleh menafsir bebas, global paradox yang dimaksud Naisbitt juga dapat berarti: “semakin universal dunia, manusia akan semakin individualistik,” watak yang justeru kontradiktif dengan semangat globalisasi itu sendiri.

Dengan demikian, menjawab pertanyaan: “Masih relevankah pengkaderan HIMMAH,” harus secara jujur saya jawab: “Tidak relevan lagi.” Mengingat globalisasi mulai menggeser fungsi-fungsi organisasi, membuatnya menjadi lebih abstrak sebagai ruang hubungan sosial. Maka, untuk bisa tetap bertahan, HIMMAH harus berbenah diri, menjadi organisasi yang mampu menjawab kebutuhan banyak orang.

Syarat yang harus dipenuhi sangat sederhana. Jika globalisasi ingin diterima sebagai fakta sejarah, maka ia harus diterima secara paripuna dalam bentuk “pandangan dunia,” seperti: mental, sikap; dan budaya. Menerima globalisasi hanya pada aspek-aspek tertentu saja, semisal teknologi; samahalnya seperti orang yang sedang memegang gadget di tangannya, tapi cara berpikirnya masih primitive. Meminjam fakta yang lebih kongkrit, ketika uang mulai berubah wujud menjadi trust (kepercayaan); masih ada saja orang yang mempersoalkan lambang palu-arit di dalamnya. Fakta ini menjadi lazim karena anggapan budaya sebagai produk yang sakral.

Orang bisa dengan mudah melopati perubahan-perubahan teknologi, secepat apapun itu; tapi mereka sulit untuk merubah budaya. Dalam keadaan demikian, mereka gagal menerima globalisasi; betapapun globalisasi tidak pernah gagal masuk menjadi bagian dari hidup mereka, karena ia merupakan kebutuhan. Pilihannya menjadi sulit, mengikuti arus globalisasi sehingga ia bisa dianggap sebagai peluang; atau justeru menolaknya karena ia dianggap sebagai ancaman.

Penutup

Tulisan ini hanya sebentuk refleksi yang saya sumbangkan untuk pembenahan HIMMAH; diharapkan juga bisa bermanfaat bagi organisasi-organisasi berbasis kader lainnya. Jika saya tidak banyak menyinggung tentang dunia training sebagaimana diharapkan penyelenggara; hal tersebut dilakukan untuk menghindari “retorika” yang seringkali menyamarkan fakta-fakta. Hemat saya, terlalu naïf jika harus berbicara langit jika kaki saja tidak memijak bumi. Karenanya, saya menganggap jauh lebih bermanfaat memahami globalisasi untuk melihat peluang dan tantangannya, dibanding berbicara tentang dunia training tanpa pernah paham sama sekali dengan wujud globalisasi itu sendiri | Selamat berdiskusi.

Tinggalkan komentar